Kesepuluh: Memberikan hak istri dalam hubungan intim
Hal ini dapat kita ambil pelajaran dari hadits Abu Darda’ berikut ini.
آخَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بَيْنَ سَلْمَانَ ، وَأَبِى الدَّرْدَاءِ ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً . فَقَالَ لَهَا مَا شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِى الدُّنْيَا . فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ ، فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا . فَقَالَ كُلْ . قَالَ فَإِنِّى صَائِمٌ . قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ . قَالَ فَأَكَلَ . فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ . قَالَ نَمْ . فَنَامَ ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ . فَقَالَ نَمْ . فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمِ الآنَ . فَصَلَّيَا ، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ . فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « صَدَقَ سَلْمَانُ »
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mempersaudarakan Salman dan Abu Darda’. Suatu saat Salman mengunjungi –saudaranya- Abu Darda’. Ketika itu Salman melihat istrinya, Ummu Darda’, dalam keadaan tidak mengenakkan. Salman pun berkata kepada Ummu Darda’, “Kenapa keadaanmu seperti ini?” “Saudaramu, Abu Darda’, seakan-akan ia tidak lagi mempedulikan dunia”, jawab wanita tersebut. Abu Darda’ kemudian datang. Salman pun membuatkan makanan untuk Abu Darda’. Salman berkata, “Makanlah”. “Maaf, saya sedang puasa”, jawab Abu Darda’. Salman pun berkata, “Aku pun tidak akan makan sampai engkau makan.” Lantas Abu Darda’ menyantap makanan tersebut.
Ketika malam hari tiba, Abu Darda’ pergi melaksanakan shalat malam. Salman malah berkata pada Abu Darda’, “Tidurlah”. Abu Darda’ pun tidur. Namun kemudian ia pergi lagi untuk shalat. Kemudian Salman berkata lagi yang sama, “Tidurlah”. Ketika sudah sampai akhir malam, Salman berkata, “Mari kita berdua shalat.” Lantas Salman berkata lagi pada Abu Darda’, “Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban kepada Rabbmu. Engkau juga memiliki kewajiban terhadap dirimu sendiri (yaitu memberi supply makanan dan mengistirahatkan badan, pen), dan engkau pun punya kewajiban pada keluargamu (yaitu melayani istri, pen). Maka berilah porsi yang pas untuk masing-masing kewajiban tadi.” Abu Darda’ lantas mengadukan Salman pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Salman itu benar” (HR. Bukhari no. 968).
Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, suami itu wajib menyetubuhi istrinya sesuai dengan kemampuan suami dan kecukupan istri. Inilah pendapat yang tepat, berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengharuskan suami harus menyetubuhi istrinya minimal empat bulan sekali. Namun yang tepat adalah pendapat pertama.
Kesebelas: Memberikan istri kesempatan untuk menghadiri shalat jama’ah selama keluar dengan hijab yang sempurna dan juga memberi izin bagi istri untuk mengunjungi kerabatnya, sebagaimana hal ini telah diterangkan dalam kisah Ummu Zar’ dan Abu Zar’ sebelumnya.
Keduabelas: Tidak menyebar rahasia dan aib istri, sebagaimana pernah diterangkan dalam kewajiban istri.
Ketigabelas: Berhias diri di hadapan istri sebagaimana suami menginginkan demikian pada istri
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).
Keempatbelas: Selalu berprasangka baik dengan istri
Inilah mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar suami tidak terlalu penuh curiga ketika ia meninggalkan istrinya lalu datang dan ingin mengungkap aib-aibnya. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا قَدِمَ أَحَدُكُمْ لَيْلاً فَلاَ يَأْتِيَنَّ أَهْلَهُ طُرُوْقًا حَتَّى تَسْتَحِدَّ الْمَغِيْبَةُ وَتَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ
“Jika salah seorang dari kalian datang pada malam hari maka janganlah ia mendatangi istrinya. (Berilah kabar terlebih dahulu) agar wanita yang ditinggal suaminya mencukur bulu-bulu kemaluannya dan menyisir rambutnya” (HR. Bukhari no. 5246 dan Muslim no. 715).
Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata,
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلاً يَتَخَوَّنُهُمْ أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ
“Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam melarang seseorang mendatangi istrinya di malam hari untuk mencari-cari tahu apakah istrinya berkhianat kepadanya atau untuk mencari-cari kesalahannya” (HR. Muslim no. 715).
Hadits semacam ini kata Al Muhallab adalah dalil yang menunjukkan terlarang mencari-cari kesalahan dan kelengahan istri karena ini adalah bagian dari fitnah dan termasuk berburuk sangka padanya (Lihat Syarh Al Bukhari li Ibni Battol, 13: 372, Asy Syamilah).
Semoga Allah memudahkan kita selaku para suami untuk memenuhi kewajiban ini terhadap istri dan anak-anak kita. Semoga dengan mengamalkannya keluarga kita akan mendapatkan rahmat Allah dan selalu diisi dengan kasih sayang.
Wallahu waliyyut taufiq. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar